Skip to main content

Jawaban bagi yang mengharamkan Tahlilan dan Sedekah Atas Mayit


(Oleh: Ustadz Suparman Abdul Karim)

Setelah selesai menyelenggarakan Fardhu Kifayah (memandikan, mengkafani, mensholatkan dan menguburkan Jenazah), Rasulullah Saw menganjurkan agar kita mendoakan dan bersedekah atas ahli qubur usai pemakaman. Diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwa apabila Nabi SAW selesai menguburkan jenazah, beliau berdiri didekat kubur dan bersabda, “Hendaklah kamu sekalian memintakan ampunan bagi saudaramu (yang mati ini) dan mohonkanlah ketetapan (keteguhan hati) baginya karena saat ini ia sedang ditanya (diuji) oleh malaikat” (Sunan Abî Dâwud, no. 3221; Shahîhul Jâmi', no. 945; dan Ahkâmul Janâ'iz, no. 155).

Merespon hadits ini, Imam Thawus (Ulama Tabi’in) mengemukakan bahwa untuk menolong Ahli Kubur yang sedang ditanya dianjurkan agar banyak berdoa dan sedekah makanan. Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab az-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ
“Dari Sufyan berkata: Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.” (H.R. Ahmad dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

 Imam Al-Hafizj Ibnu Hajar mengemukakan bahwa pendapat tersebut mempunyai asal yang kukuh (ashlun ashilun) dalam syariat dimana sejumlah ulama telah meriwayatkan dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih.

Berikut juga kutipan hadits-hadits yang menganjurkan sedekah setelah kematian diriwayatkan dari ‘A’isyah rah, bahwanya ada seorang laki-laki bertanya:

نَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا»

“Ibuku mati mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya yakin, andaikan beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah. Apakah beliau akan mendapat aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi SAW menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.” (HR. Bukhari 1388 dan Shahih Muslim, no. 1004).

Dalam hadits yang lain, dari Ibnu Abbas ra, bahwa ibunya Sa’d bin Ubadah meninggal dunia, ketika Sa’d tidak ada di rumah. Sa’d berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»
“Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak hadir. Apakah dia mendapat aliran pahala jika aku bersedekah harta atas nama beliau?” Nabi SAW menjawab, “Ya.” (Shahih Al-Bukhari, no. 2756).

Bahkan dalam Kitab Fiqhus-Sunnah, Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa:

الصدقة: وقد حكى النووي الاجماع على أنها تقع عن الميت ويصله ثوابها سواء كانت من ولد أو غيره، لما رواه أحمد ومسلم وغيرهما عن أبي هريرة: أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أبي مات وترك مالا ولم يوص
 فهل يكفر عنه أن أتصدق عنه؟ قال: ” نعم “.
وعن الحسن عن سعد بن عبادة أن امه ماتت.
فقال: يارسول الله: إن أمي ماتت، أفأتصدق عنها؟ قال: ” نعم “.
قلت: فأي الصدقة أفضل؟ قال: ” سقي الماء ” قال الحسن: فتلك سقاية آل سعد بالمدينة.
رواه أحمد والنسائي وغيرهما.

Imam An Nawawi Rahimahullah telah mengemukakan bahwa adanya ijma’ (kesepakatan ulama), bahwa sedekah itu boleh dihadiahkan pahalanya atas mayit, dan akan sampai pahalanya, baik dari anaknya atau orang lain. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya ayah saya telah wafat, dia meninggalkan harta tapi tidak ada wasiat. Apakah dosa-dosanya bisa terhapus jika saya bersedekah atas namanya?”. Rasulullah SAW menjawab: “Ya. (Takhrij Hadits: Shahîh Muslim no. 11, 1630)

Juga diriwayatkan dari Al- Hasan, dari Sa’ad bin ‘Ubadah, dia menceritakan ibunya telah wafat, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ibu saya telah wafat, apakah boleh saya bersedekah atas namanya?”. Rasulullah menjawab: “Ya.”. Aku (Sa’ad) berkata: “Sedekah apa yang paling utama?” Rasulullah menjawab: “Menghidangkan Air.” Al-Hasan berkata: “Maka, keluarga Sa’ad menghidangkan air untuk warga Madinah.” (H.R. Ahmad, An Nasa’i, dan selainnya). (Takhrij Hadits: Selain di kitab Musnad Imam Ahmad hadits dari Sa’ad ini juga terdapat dalam Kitab Shahih Al-Bukhari, no. 1388, 2756; Shahih Muslim, no. 1004). (Silakan dirujuk langsung ke Kitab Fiqhus-Sunnah, Jilid 1, Darul-Fath, hlm. 395-396, pada bab al-a’malullati tanfa’ul-mayyit).

Dengan demikian bersedekah dengan membagikan minuman saja nilainya sangat utama. Apalagi bersedekah makanan, dikarenakan sedekah makanan adalah perbuatan yang paling utama. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya orang terbaik diantara kalian adalah orang yg membagikan makan”. (HR. Ibnu Sa’ad, Al-Hakim, Ath-Thabrani).

Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Raslulullah, “Perbuatan apa yg terbaik di dalam agama Islam? Maka Rasul menjawab, Yaitu kamu memberi makan kepada orang lain, dan kamu mengucapkan salam kepada orang yangg kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.” (Shahih Al-Bukhari, no. 12 dan Shahih Muslim, no. 39).

Sampai disini semakin jelas tentang kesunnahan membagikan makanan dan minuman sebagai sedekah yang pahalanya sangat bermanfaat bagi mayyit.

MEMBAGIKAN MAKANAN UNTUK PENTAKZIAH

K.H. Muyhyiddin Abdusshomad telah menulis buku khusus mengenai Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, beliau telah mengutip beberapa sumber mengenai kebolehan sedakah makanan yang dibagikan kepada para pentakziah. Kutipan beliau anatara lain:

عَنْ ‏عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ، ‏عَنْ ‏أَبِيْهِ، ‏عَنْ ‏رَجُلٍ ‏مِنَ‏ ‏اْلأَنْصَارِ‏ ‏قَالَ: ‏خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصِي الْحَافِرَ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ، فَجَاءَ وَجِيْءَ بِالطَّعَامِ، فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوْا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُوْلَ اللهِ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَلُوْكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ: أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا، فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ أَرْسَلْتُ إِلَى ‏الْبَقِيعِ، ‏ ‏يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏‏أَطْعِمِيْهِ الْأُسَارَى ‏

“Dari Ashim bin Kulayb, dari ayahnya, dari salah seorang shahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah SAW dan saat itu saya melihat beliau menasihati penggali kubur seraya berkata, “Luaskan bagian kaki dan kepalanya.” Setelah Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan, Rasulullah SAW memenuhi undangannya dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makanan pun dihidangkan. Rasulullah SAW mulai makan lalu diikuti oleh para undangan...” (Sunan Abi Dawud, no. 2894).

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah; disebutkan oleh Syekh al-Kirmani dalam Syarh al-Hadits al-Arba’in, halaman 315; Syekh Ibrahim al-Halabi dalam Munyah al-Mushalli, halaman 131; Syekh Abu Said dalam al-Bariqah al-Muhammadiyyah, Juz 3, halaman 252.

Kata دَاعِي امْرَأَةٍ yang digunakan dalam hadits riwayat Abu Dawud ini sepintas memberi pemahaman bahwa yang mengundang Nabi SAW itu bukan istri si mayit, tapi wanita lain. Namun dalam kitab ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud yang dikutip dari kitab al-Misykat disebutkan sebagai berikut:

داعي امرأة ... وَفِي الْمِشْكَاِة دَاعِي امْرَأَتِهِ بِاْلإِضَافَةِ إِلَى الضَّمِيْرِ، قال اْلقَارِي، أَيْ زَوْجَةُ الْمُتَوَفَّي -- عون المعبود: ج ٩ ص ١٢٩
داعي امرأة …
Dalam kitab al-Misykat redaksi yang digunakan دَاعِي امْرَأَتِهِ dengan dimudhafkan kepada dhamir (kata ganti). Al-Qari berkata, yang dimaksud adalah istri yang meninggal. (‘Aunul Ma’bud, Juz 9, hlm. 129).

Berdasarkan keterangan di atas, hadits tersebut sesungguhnya memberikan informasi kepada kita bahwa Nabi SAW diundang oleh keluarga si mayit, yaitu istri dari si mayit yang baru saja dimakamkan. Atas undangan tersebut Rasulullah SAW beserta para shahabat berkumpul di rumah duka dan memakan hidangan yang disuguhkan.
Berdasarkan hadits ini pula, Syekh Ibrahim al-Halabi menyatakan bahwa keluarga mayit boleh menyediakan makanan dan memanggil orang lain untuk berkumpul di rumahnya guna menyantap makanan tersebut. Beliau berkata:

فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ وَضْعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَّامَ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهِ وَإِنِ اتَّخَذَ وَلِيُّ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِي الْوَرَثَةِ صَغِيْرٌ فَلاَ يُتَّخَذُ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ
“Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (al-Bariqah al-Muhammadiyyah, Juz 3, halaman 235).

Mari kita simak dalil berikutnya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ
 “Dari Aisyah istri Nabi SAW, bahwa bila ada orang dari keluarganya (Aisyah) yang meninggal maka para wanita pun berkumpul, kemudian mereka pergi kecuali keluarganya dan orang-orang terdekat. Lalu (Aisyah) memerintahkan untuk mengambil periuk yang terbuat dari batu dan diisi dengan talbinah (makanan terbuat dari tepung dan kurma), lalu dimasaklah makanan tersebut, kemudian dibuat bubur dan dituangkanlah makanan tersebut di atasnya. Lalu (Aisyah) berkata, “Makanlah ia, karena sungguh saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Makanan yang terbuat dari tepung dan kurma tersebut (talbinah) merupakan  penyejuk bagi hati yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesedihan.” (H.R. Imam Muslim).
Mari kita perhatikan lagi dalil selanjutnya:

عَنِ اْلأَحْنَافِ بْنِ قَيْسٍِ قَالَ: كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍِ فِيْ بَابٍِ إِلاَّ دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ، فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَأَمَرَ سُهَيْبًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا، وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا. فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ، جَاؤُوْا، وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ. فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍِ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ، كُلُوْا مِنْ هَذَ الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata, “Aku mendengar Umar berkata, “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Muthalib ra datang dan berkata, “Wahai manusia, dulu Rasulullah SAW wafat, lalu kita makan dan minum sesudahnya. Lalu Abu Bakar ra wafat, kita makan dan minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud perkataan Umar tersebut.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, Juz 5, halaman 328 dan al-Hafizh al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah al-Maharah, Juz 3, halaman 289).

SUMBANGAN DARI PARA PENTAKZIAH

 Sampai disini kami hendak menegaskan kembali bahwa sedekah yang pahalanya atas mayyit hukumnya SUNNAH. Adapun sedakah sedekah makanan yang dibagikan kepada pentakziah hukumnya BOLEH dan tetap mendapatkan sunnahnya sedekah. Selanjutnya perkara yang lebih disukai lagi (SUNNAH) adalah para pentakziah bersedekah uang atau makanan kepada keluarga ahli musibah. Berikut keterangannya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ص: اصْنَعُوْا ِلأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا, وَابْعَثُوْا بِهِ إِلَيْهِمْ فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغِلُهُمْ عَنْهُ. (سنن أبى داود: 2725, 1599, الترمذى: 919

Dari Abdullah bin Ja’far ra., ia berkata, “Ketika datang kabar meninggalnya Ayahku, Rasulullah SAW berkata kepada keluarganya, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, lalu kirimkanlah makanan itu kepada mereka. Telah datang kepada mereka perkara yang sangat menyibukkan mereka” (Sunan Abi Dawud, no. 2725).

 Jadi budaya yang terjadi di Indonesia, terutama yang masih lestari di kampung-kampung, telah menetapi sunnah Rasulullah SAW. Ketika ada musibah kematian para tetangga datang dengan membawa baskom beras, telur, ayam dan berbagai bahan sembako lainnya ke Rumah ahli musibah. Lalu para tetangga kampung memasak bahan-bahan tersebut dan setelah matang dihidangkan kepada keluarga Ahli Musibah dan juga orang-orang yang berdoa ketika bertakziah. Belakangan di kota orang-orang lebih memilih praktisnya yakni dengan menyumbangkan sejumlah uang untuk ahli musibah. Namun yang mesti repot memasak haruslah para tetangga dan jangan sampai menjadi kerepotan Ahli Musibah.

أَنَّ الْجَوِيِّيْنَ غَالِبًا إِذَا مَاتَ أَحَدُهُمْ جَاءُوْا إِلَى أَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلأَرُزِّ نِيْـئًا, ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلأَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ, عَمَلاً بِخَبَرِ "اصْنَعُوْا ِلأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا" وَرَجَاءَ ثَوَابَ اْلإِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ (بلوغ الأمنية: 219).

Sayaikh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq menyatakan bahwa: Sesunggguhnya orang-orang Jawa (Indonesia) jika ada seorang tetangga mereka meninggal dunia, mereka terbiasa datang ke rumah Ahli Musibah sambil membawa beras dan bahan lainnya. Setelah diserahkan lalu dimasak (oleh tetangga) dan setelah itu dihidangkan kepada keluarga Ahli Musibah dan kepada orang-orang yang hadir takziah. Kebaikan ini adalah bentuk pengamalan hadits Nabi SAW: ““Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far”, dan sekaligus mengharapkan pahala sedekah makanan itu disampaikan kepada mayyit” (Bulughul Umniyah, hlm. 219).

Jadi kesimpulannya, bahwa disunnahkan sedekah makanan ketika ada Takziah atau Tahlilan. Kesunnahan ini berlaku umum bagi orang yang mampu, memiliki kelonggaran dan ikhlas melakukannya. Bagi oarang yang tidak mampu sebaiknya hanya menggunakan sumbangan para tetangga, biaya rukun kematian dan jangan sampai membebani keluarga Ahli musibah. Sebaiknya para tetangga menyumbangkan bahan-bahan dan memasaknya lalu dihidangkan untuk ahli musibah dan para hadirin. Sehingga mencukupi sunnah dan tidak merepotkan keluarga musibah.

H Suparman Abdul Karim
(Pengurus LDNU Lampung & Komisi Dakwah MUI Lampung)

Comments

Popular posts from this blog

Pesan Umma

"Ketika kamu sudah dewasa kamu akan diperlakukan buruk dan dikecewakan oleh banyak manusia. Tapi sesedih dan semarah apapun kamu tetaplah jadi baik."

Bagaimanakah keadaan kita semasa kembali bertemu Allah SWT?

Sulaiman Bin Abdil Malik (seorang  Khalifah Bani Umayyah) telah bertanya kepada Seorang alim yang soleh, zuhud, bertakwa dan warak iaitu Abu Hazim Salamah Bin Dinar, katanya:  Bagaimanakah (keadaan kita semasa) kembali bertemu Allah SWT? Beliau r. alaihi telah menjawab: "Orang yang baik maka keadaannya adalah seperti seorang pengembara yang pulang bertemu kaum keluarganya. Adapun seorang yang jahat maka keadaannya adalah seperti seorang hamba yang telah melarikan diri, tetapi dia dikembalikan kepada tuannya."

Kenapa Hidup ini Melelahkan?

Kenapa hidup ini melelahkan? Karena bukan tempat untuk beristirahat. Jika tidak, kau akan lelah di kehidupan selanjutnya.